Salahkah..

0 komentar

    By : Arina

‘Aturan apalagi yang akan papa berikan padaku ?’ tanyaku saat papa mengantarkanku ke sekolah baruku. Tapi papa berlalu begitu saja tanpa menjawab pertanyaanku. Kemudian aku terduduk sambil menangis di tengah lapangan yang masih sepi.
    Saat aku terisak dalam tangis, aku mendengar suara seseorang yang tengah mengejekku. ‘Ini bukan tk dik, tapi smu. Mungkin adik nyasar. Mama adik dimana?
Aku merasa kesal terhadapnya. Dan disaat aku menengadah untuk melabraknya, aku melihat ia tengah mengulurkan tangannya. Tetapi aku mengacuhkannya dan pergi berlari meninggalkannya menuju kelas baru.
    Ika. Itulah namaku. Hidupku tak pernah lepas dari segala aturan yang menurutku sangat berlebihan dari orangtuaku. Mulai dari cara berpakaian, makanan, sekolah bahkan teman, semua dipilihkan oleh kedua orangtuaku.
    Aku merasa bagai sebuah robot yang hanya bias bergerak apabila digerakkan oleh pemiliknya. Saat bel masuk sekolah berbunyi, aku melihat lelaki yang membuatku kesal tadi pagi. Dan yang paling membuatku kesal adalah ia duduk disampingku. Lalu, aku pindah ketempat lain. Anehnya, dimana aku duduk ia selalu duduk disamping ku juga. Karena semua bangku telah terisi, aku terpaksa duduk disampingnya. 
    Enam bulan aku sekolah di smu pilihan orengtuaku. Aku belum menemukan sesuatu yang dapat membuatku betah disekolah tersebut. Satu jam, bagaikan sehari bagiku. Terlebih sebangku ku Doni, yang selelu membuatku kesal dengan seluruh petuah nya. Ku akui dia memang keren, pintar, berbadan tegap. Banyak cewek yang mendekatiku dan menanyaiku tentangnya. Tetapi selalu tak ku tanggapi. Sehingga mereka merasa kesal kepada ku. Tetapi aku selalu bersikap cuek dengan sikap mereka terhadapku.
    Suatu pagi,aku merasakan sakit yang luar biasa dengan perutku. Aku tak tahu megapa. Padahal aku sama sekali tidak memiliki penyakit yang berhubungan dengan perut. Sepanjang pelajaran sekolah, aku hanya duduk di bangku sambil terkadang meringgis kesakitan. Terkadang doni bertanya ada apa dengan ku. Tetapi aku tudak menggubrisnya.
    Ketika mata pelajaran terakhir yakni matematika, aku tidak membawa buku catatan. Kemudian guru yang terkenal dengan ‘killer’ itu menyuruh siswa maupun siswi yang tidak membawa catatan berdiri diatas kursi masing – masing sampai bel pertanda pulang berbunyi.
    Disaat aku berdiri, semua siswa tertawa, sambil melihat kea rah ku. Saat aku berbalik, ‘Oh God’ gumamku ketika melihat rok abu – abuku dipenuhi cap merah. Dan aku baru mengetahui bahwa itulah pmenyebabkan aku kesakitan. Kemudian aku permisi  kepada guru tersebut untuk pergi ke toilet.
    Aku sangat malu dan menetap di toilet sampai keadaan sekolah sepi. Tiba – tiba seseorang mengetok pintu toilet toilet yang aku huni. Ternyata doni. Tanpa instruksi, ia menyodorkan jacketnya padaku untuk aku pakai menutupi rok merah ku.Aku hanya terdiam menurut padanya. Kemudian ia mengantarku pulang kerumah.
    Keesokan harinya, aku menemuinya di kelas untuk mengembalikan jackrt miliknya yang telah dicucikan oleh bibik di rumah. ‘Thanks ya.’ Ucapku padanya
‘Sama – sama’ balasnya sambil tersenyum menyadarkanku  betapa manisnya dia saat tersenyum.
‘Kok bengong ?’ tanyanya  menyadarkan ku dari khayalan tingkat tinggi.
‘Eh.. nggak apa pa kok. Oh ya, apa kami gak ngerasa jijik?’ tanyaku padanya
‘Soal ?’ tanyanya balik.
‘Ya semalam. Itukan pasti buat semua orang merasa illfill.’ Jelas ku.
‘Kenapa harus jijik? Itukan wajar bagi setiap cewek..’ Jawabnya sambil tersenyum
    Sungguh sebuah jawaban yang mencengangkan. Dan mulai dari saat itu kami berteman. Dia selalu mengajarkan segala sesuatu yang dia ketahui kepada ku. Bahkan dalam hal memasak. Kami juga saling bertukar kado pada setiap moment yang kami alami.
    Tak terasa kami sudah kelas 3 sekolah menengah. Selama itu pula kami telah menjadi sahabat. Kami sudah saling mengenal. Bahkan dengan orangtuanya. Suatu hari aku menanyakan gossip yang telah beredar luas disekolah kepadanya bahwa dia menyukaiku. Tetapi dia tersenyum sambil menyarankan ku untuk tak terlalu memikirkan gossip tersebut.
    Aku merasa tenang saat bersamanya. Tetapi tidak dirumah. Aku selalu diacuh kan oleh kedua orangtuaku karenakesibukan mereka.
    Tiba saatnya untuk kelulusan. Aku merasa sedih berpisah dengannya. Bahkan tak jarang aku berdoa agar aku dengan doni tidak lulus agar kami bisa selalu bersama. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Tetapi kalau ada pertemuan pasti ada perpisahan.
    Sejak saat itu juga ia tidak pernah mengabariku. Bahkan nomornya tidak pernah aktif. Saat semua semua pelajar tengah huru – hara dengan berbagai bimbel demi meraih sebuah kursi di perguruan tinggi idaman mereka, aku hanya di rumah. Karena perguruan tinggi yang akan aku huni telah di pilihkan oleh orangtuaku.’KESAL’ keluhku.
    Aku sedih saat mendengar kabar bahwa doni mendapatkan sebuah bangku di PTN idamannya. Karena aku akan semakin jauh darinya. Saat aktivitas perkuliahan dimulai, aku melangkah gontai menuju kelas yang akan aku huni.
    Ketika aku duduk dengan pikiran kosong, aku dikagetkan oleh suara yang tak asing lagi di telinga ku. ‘DONI…’ jerit ku ketika melihat nya hingga mengundah semua perhatian kelas. Aku memeluknya bahagia. ‘ kenapa gak kasih kabar? Kk disini? Bukannya menang di PTN?’ tanyaku bertubi – tubi hingga membuatnya bingung untuk menjawab yang mana terlebih dulu.
    ‘Semua karena kamu’ jawabnya. Kemudian kami berpelukan. Namun setelah perkuliahan berlangsung selama beberapa bulan, aku merasa ia menjauhiku. Bahkan tak jarang bersikap cuek terhadap ku. Aku merasa bingung. Dan setiap kali aku bertanya mengenai sikapnya terhadapku, aku selalu mendapatkan jawaban yang tak memuaskan.
    Aku mulai merasa bahwa suasana di rumah dan kampus tak jauh berbeda. Disaat kebingungan melandaku, aku kembali dibingungkan dengan ketidakhadiran doni selama dua minggu di kampus. Bahkan kedua orangtuanya pun tak mengetahui keberadaannya.
    Disaat aku memikirkan doni dikamar, ditengah keheningan malam, hp ku berbunyi. Ternyata sebuah pesan dari nomor yang tak ku kenal yang hanya bertuliskan ‘I ‘. Aku tak mengerti arti pesan tersebut. Tetapi aku tak menghiraukannya. Aku hanya memikirkan doni. Dan berinisiatif untuk mencarinya.
    Selama 4 hari pencarianku terhadap doni, setiap hari aku menerima pesan hanyadengan sebuah huruf. L U V. Itulah pesan huruf yang kuterima . Disaat aku sudah putus asa, aku mendapat kabar mengenai keberadaan doni dari tetangganya. Dan dari tetangganya pula aku mengetahui bahwa doni memiliki penyakit bawaan yakni Jantung Bocor.
    Aku segera menemuinya di rumah sakit. Aku melihat sesosok tubuh yang kukenal terkulai lemah tak berdaya di suatu kamar yang ditunggui kedua orangtuanya yang sengaja merahasiakan keberadaan doni  dariku atas permintaan doni.   
    Aku langsung masuk dan duduk di sebelah doni. Dengan terisak – isak aku memegang erat tangannya, hingga ia terbangun dan tersenyum padaku. Kemudian ia meraih hp nya dan mengirim pesan kepada seseorang. Saat itu juga aku menerima pesan dari nomor yang tak kukenali itu dengan huruf ‘ U’.
‘Dah nyampe ?’ tanyanya padaku dengan suara parau.
Aku tak mengerti apa yang ia maksudkan. Kemudian ia menelephone seseorang yang ternyata itu aku. Dan aku baru sadar bahwa orang yang mengirimi aku pesan tersebut adalah doni. Dan kami berbicara lewat handphone seolah – olah aku dan dia berada di tempat yang berbeda.
‘I  LUV U’ Ucapnya sambil tersenyum.
Aku hanya menangis sejadi – jadinya.
‘ Be mine ?’ Tanyanya kembali.
Aku hanya mengangguk sambil menangis di dekapannya. Kemudian aku memandangnya kembali. Aku melihat ia sedang tersenyum untuk terakhir kalinya. Aku hanya bias menangis hingga jatuh pingsan. Setelah sadar doni telah dimakamkan. Aku jatuh sakit karena tak bisa menerima kepergiannya. Karena bagiku ia adalah segalanya.
    Suatu hari antara sadar atau tidak, aku merasa doni dating dan membelai lembut rambutku sambil berkata ‘Jangan sedih. Ntar aku sedih juga lo…’ kemudian ia lenyap. Setelah kejadian tersebut, aku mulai belajar untuk mengiklaskan kepergiannya. Setelah dinyatakan sembuh aku keluar dari rumah sakit dan pergi berziarah ke makam doni.
    Disana aku bertemu dengan tante FIFI ibu dari doni dan mengajakku kerumahnya. Saat aku memasuki kamar Doni, aku merasakan air mataku membasahi pipiku. Betapa tidak. Seluruh dinding kamar doni dipenuhi oleh foto – foto ku yang diambil tanpa sepengetahuanku. Sejenak aku tersenyum saat melihat fotoku sedang menangis dilapangan pada hari pertama sekolah. Aku tak tahu kapan ia mengambil semua itu. Karena aku merasa ia selalu disisiku.
    Saat aku membuka lemarinya, aku melihat hadiah – hadiah yang pernah aku berikan padanya. Kemudian mataku tertuju pada foto yang cukup besar di meja belajarnya.Ternyata itu adalah foto ku juga dengan tulisan di tengahnya ‘My Soul, My Spirit’.    
    Aku tak tahu seberapa besar perasaanya padaku dan memendam semua itu. Kemudian tante fifi memberiku sebuah kotak pemberian doni sebelum pergi meninggalkan kami semua. Sebuah surat yang menyarankanku untuk berbaikan dengan kedua orangtuaku. Dan memberiku sebuah jam tangan dengan background fotonya sendiri. Dengan sebuah kartu yang berisikan ‘ Jangan lupakanku walau sedetik pun’.
Aku menangis dipelukan tante fifi. Dan mengikuti saran doni untuk berbaikan dengan kedua orangtuaku tang telah berubah entah sejak kapan. Dan menjalani hidup dengan doni yang selalu dihatikU.

Share this article :

Posting Komentar

 
Copyright © 2009. ILMU MARTA SITANGGANG
Template Created by Marta Gresi Sitanggang