ADA APA DENGAN REIHAN?

0 komentar

Posting cerpen by: Rika Ariyani. Alumni IAIN IB Padang.
Total cerpen di baca: 55
Total kata dlm cerpen: 1623
Tanggal cerpen diinput: Tue, 20 Jul 2010 Jam cerpen diinput: 11:25 AM
0 Komentar cerpen
-->

            Tak biasanya Reihan memalingkan muka seperti itu padaku. Mustahil, karena dia tidak melihatku, toh, aku berdiri tepat di depan matanya. Hh… aku tidak mengerti pada sosok itu. Aneh sekali dia hari ini. Dia kira aku tidak sedih apa?
            Reihan is My Best Friend, dia adalah mahasiswa semester dua di Fakultas Hukum Universitas Jambi, UNJA. Sama denganku. Kami sama-sama semester dua dengan jurusan yang sama dan di lokal yang sama. Local B. Awal kuliah aku begitu simpati padanya, dia sangat pandai menempatkan diri. Mahasiswa teladan langsung melekat di pundaknya. Aku iri, aku iri pada semangatnya yang selalu membara.
            Dari Reihan aku belajar banyak hal. Mulai dari mata kuliah yang tidak aku mengerti, sampai kepada pengetahuan agama yang tidak ada hubungannya dengan mata kuliah. Mahasiswa tamatan pondok pesantren itu mempunyai segudang ilmu agama yang tidak aku punya. Meskipun begitu, dia tidak pernah kibir, pada siapa pun itu.
            “Kibir itu pakaian Allah, Iffa… kita tidak berhak memakainya.” Jelas Reihan waktu itu.
            Reihan juga sangat mahir berbahasa arab, mungkin karena backround-nya yang dari Pesantren. Katanya, di Pondok Pesantren itu harus berbahasa Arab dan bahasa Inggris. Tak salah, kalau dia seperti orang Arab saja, saking mahirnya. Dia sering mengajarkan bahasa al-Qur’an itu padaku. Alhamdulillah, sampai hari ini sedikit banyaknya aku bisa menggunakan bahasa itu. Yah… berkat Reihan. Aku sangat beruntung sekali punya sahabat sepertinya. Tapi sayang, kedekatan itu menimbulkan bisik-bisik aneh di kalangan mahasiswa jurusan hukum di kampus. Mereka beranggapan kami bertahabbub. Mereka salah, mereka tidak tahu siapa Reihan. Reihan paling anti dengan istilah itu dan mungkin sangat membencinya.
            “Biar sajalah Fa, mereka mau bicara apa tentang kita. Toh, kita tidak seperti itu kan? Kita hanya bersahabat, dan Allah maha tahu dengan semuanya.” Komentar Reihan ketika aku ceritakan padanya. Dia begitu santai menanggapi semua gossip yang beredar. Tetapi hari ini, dia tiba-tiba berubah dingin padaku. Dengan sengaja dia memalingkan muka, tak mau lagi berbicara denganku, bahkan menyapaku sekali pun.
            Setelah mata kuliah berakhir, aku langsung pulang. Tak ada sedikit niat pun untuk menghampiri Reihan yang masih duduk di bangku kuliahnya. Jangankan menghampirinya, menoleh pun tidak!. Sama seperti yang telah dilakukannya padaku. Biar dia tahu rasa. Ia fikir, hanya dia yang bisa seperti itu? Aku juga bisa, lebih dari itu pun aku bisa!!
***
            Pagi ini, kota Jambi macetnya minta ampun, apalagi jalan menuju Mendalo, arah kampusku. Aku mencoba menyelip di balik kendaraan lainnya, tapi tetap saja tak bisa. Motor Vario-ku berjalan seperti semut, aku mulai bosan dengan kemacetan pagi ini, padahal aku harus mengikuti perkuliahan tepat jam 7.30 di lantai atas Fakultas Hukum. Ah, aku tidak mau terlambat. Aku tidak mau Professor tua itu meradang dan memberikan nilai C untuk mata kuliahnya.
            Alhamdulilah, akhirnya aku bisa melalui kemacetan itu. Aku datang lebih awal dari Professor itu, dan itu berarti aku tidak terlambat. Syukurlah. Aku melirik ke arah sana, ternyata Reihan juga tepat waktu, tidak telat lagi seperti minggu kemaren. Tapi oppss, dia tiba-tiba melirik. Mata kami bertemu sebentar. Cepat-cepat aku menundukkan pandangan darinya. Dia pun melakukan hal yang sama. Lucu sekali rasanya.
            Ini minggu ketiga kami saling membisu. Bibirku tak pernah lagi terbuka untuknya, begitu pun dengan bibirnya. Bibir kami sama-sama mengatup tanpa komando. Aku tidak mengerti apa yang telah terjadi dengan persahabatan kami. Yang aku tahu, tanpa angin tanpa hujan Reihan tiba-tiba memusuhiku. Dia memusuhiku tanpa alasan. Aneh sekali ikhwan itu, aku hampir tak bisa mengenalinya lagi. Persahabatan yang sempat terjalin sirna seketika. Dia tidak pernah lagi mengajarkan bahasa al-Quran itu padaku, dia tidak pernah lagi mengajakku berdiskusi, malah tak pernah lagi mengirimkan sms tausiyah padaku, seperti yang sering kali dia lakukan selama ini. Sosoknya benar-benar asing sekarang.
            “Reihan minta bukunya Fa, buku yang kamu pinjam kemaren.” Suara Fakrah mendekatiku ketika mata kuliah berakhir sore ini. Ternyata ikhwan itu benar-benar sudah menganggap aku orang asing, untuk meminta buku saja dia harus mewakilkan pada orang lain. Ada apa sih sebenarnya? Kok segitu nian dia memperlakukan aku?
            Aku sedih!
            Kalau saja tidak ada siapa pun di sini, mungkin air mata nan hangat itu sudah membasahi pipiku. Tapi tidak, aku tidak boleh menangis untuk masalah sepele seperti ini.
            “Bukunya di rumah, besok saja aku kembalikan. Bilang seperti itu pada Reihan ya…” Ucapku pada Fakrah yang masih berdiri di sampingku. Dia mengiyakannya.
            “Kalian itu kenapa sih? Kok tiba-tiba seperti Anjing dan Kucing. Ada apa?” Tanya Fakrah sebelum beranjak.
            “Silahkan tanya Reihan, kalau mau jawabannya!” Jawabku ketus. Fakrah terbelalak. Mungkin dia tidak mengira aku akan seketus itu padanya. sebenarnya tak ada alasan bagiku untuk sewot seperti itu pada mahasiswa berkaca mata itu. Dia terlalu baik, sama baiknya dengan Reihan yang dulu. Mereka adalah sahabat yang baik. Tapi sekarang Reihan sudah berubah, sosoknya sedingin es di dunia kutub.
            “Jawabanmu terlalu ketus, teman… aku tidak suka!”  Ujarnya pelan dan tegas. Aku langsung terdiam. Perasaan bersalah datang menyapa.
            “Afwan!” Seukir kata maaf meluncur dari bibirku. Setelah itu aku langsung beranjak dari hadapannya.
***
            “Reihan, aku mau bicara!” Todongku ketika baru saja mata kuliah berakhir. Aku tidak mau terus-terusan seperti ini. Aku tidak terima dimusuhi tanpa alasan yang jelas. Reihan harus menjelaskan semuanya padaku. Tega sekali dia merusak tali silaturrahmi yang pernah ada.
            “Silahkan!” Jawabnya singkat. Aku diam sesaat, lalu kembali membuka suara.
            “Reihan, ini minggu keempat kita diam-diaman, padahal kamu tahu, tidak akan masuk surga orang yang mendiamkan saudaranya selama lebih dari tiga hari. Kamu yang bilang seperti itu padaku, tapi kenapa kamu sendiri melakukannya, kenapa kamu memusuhiku seperti itu? Kesalahan apa yang telah aku perbuat? Aku tidak mengerti, mohon kamu jelaskan.”
            Reihan diam. Dia menunduk begitu lama. Menunduk dan terus saja menunduk. Dia belum menjawab pertanyaanku. Aku menunggu lama, sampai dia membuka suara. Lima menit, tujuh menit…. Dia masih saja membisu.
            “Mohon penjelasannya, AKHI.” Sekali lagi aku mendesaknya. Tapi dia tetap memilih untuk membisu saja. Aku mulai geram.
            “Reihan, kita tidak punya banyak waktu untuk berlama-lama di sini. Kamu tahu, hanya kita berdua di sini, kamu bilang berkhalwat itu haram, dan sekarang kita sedang berkhalwat. Tak ada siapa-siapa di sini, hanya kita berdua. Jadi, tolong… jangan perlama waktu kita di sini.” Pintaku sekali lagi. Dia masih saja seperti tadi. Diam.
            “Teman, kamu baik-baik saja kan?” Kali ini suaraku bertambah pelan. Mungkin lebih nyaman berbicara tanpa emosi.
            “Bicaralah teman, jangan bingungkan aku dengan diammu.” Ucapku setengah memohon. Reihan mengangkat wajahnya. Kami bertatapan sekilas. Desiran halus tiba-tiba menyapaku. Aneh. Desiran itu kenapa muncul? Selama ini desiran itu tak pernah ada kok. Yaa tuhan, ada apa ini?!
            “Kamu mau tahu jawabannya?” Reihan menantangku. Spontan aku mengangguk. Itu yang aku tunggu dari tadi.
            “Karena aku mencintaimu, Iffa!” Suara Reihan bergetar. Aku ternganga.
            “Maafkan aku teman, aku terpaksa menjauh selama ini, aku berharap dengan begitu bisa melupakanmu dan melupakan cinta itu. Tapi ternyata aku tidak bisa, aku gagal. Rasa itu masih membara di hatiku.”
            Lagi-lagi aku ternganga.
Hatiku bergetar hebat, tubuhku terguncang, aku langsung memelukknya.
    " Re.. tapi kan ga harus jauhin aku..kataku dan tenggelam dalam pelukaannya.
Rehan membalas pelukanku seakan tak ingin melepasnya.
Dan aku baru tahu sesuatu, ternyata tak ada persahabatan yang abadi antara lawan jenis. Semuanya akan berakhir seperti ini. Yup, ...
***
Share this article :

Posting Komentar

 
Copyright © 2009. ILMU MARTA SITANGGANG
Template Created by Marta Gresi Sitanggang